Archives
Izhar artinya
jelas, yakni menyatakan bacaan nun mati dan tanwin dengan jelas (suara "N"nya),
tidak samar dan tidak berdengung (suara yang keluar dari hidung). Huruf-huruf
IZH-HAR itu ada enam yang dinamakan "huruf halqi" sehingga hukum bacaannya
disebut IZH-HAR KHALQI, yaitu :
Huruf-huruf
tersebut terhimpun dalam setiap kata dari 6 kalimat berikut :
Contoh bacaan
IZH-HAR
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَف
َّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ . قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ، ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرَ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ ؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمَ . قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتـَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ
Umar bin Khattab
ra. berkata :Suatu ketika kami (para sahabat) duduk di dekat Rasulullah SAW.
Tiba-tiba muncul kepada kami seorang laki-laki mengenakan pakaian yang sangat
puti dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan
dan tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di
hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan kepada kepada lutut Nabi dan meletakkan
kedua tangannya di atas kedua paha Nabi, kemudian ia berkata, "Hai Muhammad,
beritakan kepadaku tentang Islam". Rasulullah SAW menjawab, "Islam adalah engkai
bersaksi tidak ada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul
Allah, menegakkan shalat, menuanaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan
engkau menunaikan haji ke Baitullah jika engkau telah mampu melakukannya".
Lelaki itu berkata. "Engkau benar". Maka kami heran, ia yang bertanya ia pula
yang membenarkannya.
Kemudian ia bertanya lagi, "Beritahukan kepadaku tentang iman". Nabi menjawab. "Iman adalah engaku beriman kepada Allah, MalaikatNya, kitab-kitabNya, para RasulNya, hari akhir dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk". Ia berkata. "Engkau benar".
Dia bertanya lagi, "Beritahukan kepadaku tentang Ihsan". Nabi menjawab, "Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, kalaupun engkau tidak melihatNya sesungguhnya Dia melihatmu".
Lelaki itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku kapan terjadinya kiamat”. Nabi menjawab, “Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya”. Dia pun bertanya lagi, “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya”. Nabi menjawab, “Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya, jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki tanpa memakai baju (miskin papa) serta pengembala kambing yang saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.”
Kemudian lelaki tersebut seger pergi. Aku pun terdiam sehingga Nabi bertanya kepadaku, “Wahai Umar, tahukah engkau siapa yang bertanya tadi?” Aku menjawab, “Allah dan RasulNya lebih mengetahui”. Beliau bersabda, “Ia adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian”.
(HR. Muslim)
Kemudian ia bertanya lagi, "Beritahukan kepadaku tentang iman". Nabi menjawab. "Iman adalah engaku beriman kepada Allah, MalaikatNya, kitab-kitabNya, para RasulNya, hari akhir dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk". Ia berkata. "Engkau benar".
Dia bertanya lagi, "Beritahukan kepadaku tentang Ihsan". Nabi menjawab, "Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, kalaupun engkau tidak melihatNya sesungguhnya Dia melihatmu".
Lelaki itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku kapan terjadinya kiamat”. Nabi menjawab, “Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya”. Dia pun bertanya lagi, “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya”. Nabi menjawab, “Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya, jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki tanpa memakai baju (miskin papa) serta pengembala kambing yang saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.”
Kemudian lelaki tersebut seger pergi. Aku pun terdiam sehingga Nabi bertanya kepadaku, “Wahai Umar, tahukah engkau siapa yang bertanya tadi?” Aku menjawab, “Allah dan RasulNya lebih mengetahui”. Beliau bersabda, “Ia adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian”.
(HR. Muslim)
Dari Amir Mukminin Abi Hafsh Umar bin Al-Khaththab ra.
berkata:
Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: ”Sesungguhnya segala amal
tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang mendapatkan
apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya,
maka hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya
karena dunia yang akan diraihnya atau wanita yang akan dinikahinya,
maka hijrahnya kepada apa yang diniatkannya.”
(HR. Dua Imam Muhadditsin (ahli hadits) Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari dan Abu Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi didalam dua kitab shahih mereka yang keduanya adalah kitab yang paling shahih (benar) yang ditulis (manusia).
Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: ”Sesungguhnya segala amal
tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang mendapatkan
apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya,
maka hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya
karena dunia yang akan diraihnya atau wanita yang akan dinikahinya,
maka hijrahnya kepada apa yang diniatkannya.”
(HR. Dua Imam Muhadditsin (ahli hadits) Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari dan Abu Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi didalam dua kitab shahih mereka yang keduanya adalah kitab yang paling shahih (benar) yang ditulis (manusia).
Arti Penting Hadits Tersebut
Hadits ini termasuk salah satu dari hadits-hadits penting yang menjadi poros agama Islam.
Hadits ini adalah dasar atau azas dalam Islam dan sebagian besar hukum-hukumnya berporos padanya.
Hadits ini juga sebagai tolak ukur bagi semua amal batin.
Abu Daud rahimahullah berkata: Sesungguh-nya hadits ini separuh dari agama Islam; karena agama Islam itu meliputi zhahir yaitu berupa amal, dan batin yaitu berupa niat.
Imam Ahmad dan Asy-Syafi’i rahimahumallah berkata: Masuk dalam lingkup hadits “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niatnya” sepertiga ilmu; karena usaha seorang hamba itu bisa dengan hati, lisan dan anggota badannya. Adapun niat dengan hati merupakan salah satu dari tiga jenis di atas.
Karena itu para ulama menganjurkan agar memulai kitab-kitab dan karangan-karangan mereka dengan hadits ini. Di antara ulama yang memulai kitab-kitab mereka dengan hadits ini adalah Imam Al-Bukhari dan Imam An-Nawawi rahimahumallah. Faedah memulai dengan hadits ini untuk mengingatkan dan memperingatkan para penuntut ilmu agar membenarkan niatnya untuk Wajah Allah Ta’ala dalam menuntut ilmu dan melakukan kebaikan.
Pelajaran-pelajaran yang Dapat Dipetik dari Hadits Tersebut:
Disyaratkan adanya niat
Para ulama telah bersepakat bahwa segala amal yang dilakukan seorang mukallaf yang mukmin tidak dianggap sah secara syar’i dan tidak berpahala jika ia mengerjakannya kecuali disertai dengan niat.
Waktu niat dan tempatnya
Waktu niat di awal melakukan ibadah, seperti takbir ihram ketika shalat; ihram ketika haji; sedangkan niat puasa maka dilakukan sebelumnya karena sulitnya mengetahui fajar. Adapun tempatnya niat di dalam hati, maka tidak disyaratkan melafazhkan atau mengucapkan niat, bahkan hukumnya bid’ah (hal-hal baru dalam ajaran Islam yang tiada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sahabatnya, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.)
Wajibnya hijrah
Hijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam hukumnya wajib bagi setiap muslim yang tidak memungkinkan untuk menampakkan keislamannya. Hukum ini kekal sampai hari Kiamat. Hijrah juga berarti hijrah (meninggalkan) dari hal-hal yang dilarang oleh Allah Ta’ala.
Barangsiapa yang berniat melakukan amal shalih, lalu ada udzur (halangan) -berupa: sakit, kematian, dan lainnya- yang merintanginya untuk melakukannya, maka ia memdapatkan pahala karena niatnya tersebut.
Perintah untuk mengikhlaskan segala amal dan ibadah hanya untuk Allah semata sehingga mendapatkan pahala dan balasan yang baik di akhirat, dan diberikan taufiq dan keberuntungan di dunia.
Setiap amal yang baik dan bermanfaat, apabila dilakukan dengan niat yang baik disertai dengan keikhlasan, mengharapkan keridhaan Allah Ta’ala dan mengikuti cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi suatu ibadah.
Ikhlas hanya untuk Allah Ta’ala dalam beramal merupakan salah satu syarat diterima-nya suatu amal; karena Allah Ta’ala tidak akan menerima suatu amal kecuali jika dilakukan dengan ikhlas karena Wajah Allah Ta’ala.
SUMBER: Al-Waafii fii Syarhi al-Arba’iina an-Nawawiyyah, karya DR. Mushthafa al-Bagha dan Muhyiddin Dîb Mistu
alsofwah.or.id
Hadits ini termasuk salah satu dari hadits-hadits penting yang menjadi poros agama Islam.
Hadits ini adalah dasar atau azas dalam Islam dan sebagian besar hukum-hukumnya berporos padanya.
Hadits ini juga sebagai tolak ukur bagi semua amal batin.
Abu Daud rahimahullah berkata: Sesungguh-nya hadits ini separuh dari agama Islam; karena agama Islam itu meliputi zhahir yaitu berupa amal, dan batin yaitu berupa niat.
Imam Ahmad dan Asy-Syafi’i rahimahumallah berkata: Masuk dalam lingkup hadits “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niatnya” sepertiga ilmu; karena usaha seorang hamba itu bisa dengan hati, lisan dan anggota badannya. Adapun niat dengan hati merupakan salah satu dari tiga jenis di atas.
Karena itu para ulama menganjurkan agar memulai kitab-kitab dan karangan-karangan mereka dengan hadits ini. Di antara ulama yang memulai kitab-kitab mereka dengan hadits ini adalah Imam Al-Bukhari dan Imam An-Nawawi rahimahumallah. Faedah memulai dengan hadits ini untuk mengingatkan dan memperingatkan para penuntut ilmu agar membenarkan niatnya untuk Wajah Allah Ta’ala dalam menuntut ilmu dan melakukan kebaikan.
Pelajaran-pelajaran yang Dapat Dipetik dari Hadits Tersebut:
Disyaratkan adanya niat
Para ulama telah bersepakat bahwa segala amal yang dilakukan seorang mukallaf yang mukmin tidak dianggap sah secara syar’i dan tidak berpahala jika ia mengerjakannya kecuali disertai dengan niat.
Waktu niat dan tempatnya
Waktu niat di awal melakukan ibadah, seperti takbir ihram ketika shalat; ihram ketika haji; sedangkan niat puasa maka dilakukan sebelumnya karena sulitnya mengetahui fajar. Adapun tempatnya niat di dalam hati, maka tidak disyaratkan melafazhkan atau mengucapkan niat, bahkan hukumnya bid’ah (hal-hal baru dalam ajaran Islam yang tiada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sahabatnya, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.)
Wajibnya hijrah
Hijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam hukumnya wajib bagi setiap muslim yang tidak memungkinkan untuk menampakkan keislamannya. Hukum ini kekal sampai hari Kiamat. Hijrah juga berarti hijrah (meninggalkan) dari hal-hal yang dilarang oleh Allah Ta’ala.
Barangsiapa yang berniat melakukan amal shalih, lalu ada udzur (halangan) -berupa: sakit, kematian, dan lainnya- yang merintanginya untuk melakukannya, maka ia memdapatkan pahala karena niatnya tersebut.
Perintah untuk mengikhlaskan segala amal dan ibadah hanya untuk Allah semata sehingga mendapatkan pahala dan balasan yang baik di akhirat, dan diberikan taufiq dan keberuntungan di dunia.
Setiap amal yang baik dan bermanfaat, apabila dilakukan dengan niat yang baik disertai dengan keikhlasan, mengharapkan keridhaan Allah Ta’ala dan mengikuti cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi suatu ibadah.
Ikhlas hanya untuk Allah Ta’ala dalam beramal merupakan salah satu syarat diterima-nya suatu amal; karena Allah Ta’ala tidak akan menerima suatu amal kecuali jika dilakukan dengan ikhlas karena Wajah Allah Ta’ala.
SUMBER: Al-Waafii fii Syarhi al-Arba’iina an-Nawawiyyah, karya DR. Mushthafa al-Bagha dan Muhyiddin Dîb Mistu
alsofwah.or.id
Nun mati adalah
nun yang bertanda sukun dan baris dua (tanwin)
Setip nun sukun
atau tanwin bertemu dengan salah satu huruf hijaiyyah (kecuali alif), maka cara
membacanya ada 4 (empat) macam, yaitu :
1. Izh-har
2. Idghom
3. Ikhfa
4. Iqlab
Allah Ta'ala berfirman :
"Maka bacalah Al-Qur'an dengan tartil (yang sebaik-baiknya)." (QS. Al-Muzammil : 4)
Rasulullah bersabda :
"Bacalah olehmu Al-Qur'an, maka sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat memberi syafaat/pertolongan ahli-ahli Al-Qur'an (yang membaca dan mengamalkannya)." (HR. Muslim)
Rasulullah bersabda :
"Orang yang paling baik di antara kamu ialah orang yang belajar Al-Qur'an dan mengajarkannya kepada orang lain." (HR. Bukhori)
Sebelum mulai mempelajari Ilmu Tajwid sebaiknya kita mengetahui
lebih dahulu bahwa setiap ilmu ada sepuluh asas yg menjadi dasar
pemikiran kita. Berikutnya dikemukakan 10 asas Ilmu Tajwid.
-
Pengertian Tajwid menurut bahasa : Memperelokkan sesuatu.
Menurut istilah Ilmu Tajwid : Melafazkan setiap huruf dari makhrajnya yang
betul serta memenuhi hak-hak setiap huruf. -
Hukum mempelajari Ilmu Tajwid adalah Fardhu Kifayah dan
mengamalkannya yakni membaca Al-Quran dgn bertajwid adalah
Fardhu Ain bagi setiap muslimin dan muslimat ygt mukallaf. -
Tumpuan perbincangannya : Pada kalimah² Al-Quran.
-
Kelebihannya : Ia adalah semulia mulia ilmu kerana ia langsung berkaitan
dgn kitab Allah Al-Quran. -
Penyusunnya : Imam-Imam Qiraat.
-
Faedahnya : Mencapai kejayaan dan kebahagiaan serta mendapat
rahmat dan keredhaan Allah didunia dan akhirat. Insya-Allah. -
Dalilnya : Dari Kitab Al-Quran dan Hadis Nabi ( S.A.W )
-
Nama Ilmu : Ilmu Tajwid
-
Masalah yg diperbaincangkan : Mengenai keadah² dan cara²
bacaannya secara keseluruhan yg memberi pengertian hukum² cabangan. -
Matlamatnya : Memelihara lidah daripada kesalahan membaca ayat²
suci Al-Quran pada ketika membacanya. Membaca sejajar dgn
penurunannya yg sebanar dari Allah ( S.W.T )
Tingkatan Bacaan Al Quran
Terdapat 4 tingkatan atau mertabat bacaan Al-Quran iaitu bacaan
dari segi cepat atau perlahan.
-
At-Tartil : Bacaannya yg perlahan², tenang dan melafazkan setiap
huruf daripada makhrajnya yg tepat serta menurut hukum²
bacaan Tajwid dgn sempurna, merenung maknanya, hukum dan pengajaran daripada ayat. -
: Bacaannya seperti Tartil cuma lebih lambat dan perlahan, seperti membetulkan bacaan huruf drp makhrajnya, menepatkan kadar bacaan mad dan dengung. -
Al-Hadar: Bacaan yg cepat serta memelihara hukum² bacaan Tajwid.
-
At-Tadwir: Bacaan yg pertengahan antara tingkatan bacaan Tartil dan Hadar, serta memelihara hukum² Tajwid.
Perhatian :
* Tingkatan bacaan Tartil ini biasanya bagi mereka yg sudah mengenal
makhraj² huruf, sifat² huruf dan hukum² Tajwid. Tingkatan bacaan ini
adalah lebih baik dan lebih diutamakan.
* Tingkatan bacaan Tahqiq ini biasanya bagi mereka yg baru belajar membaca Al-Quran supaya dpt melatih lidah menyebut huruf dan sifat huruf dgn tepat dan betul.
* Tingkatan bacaan Hadar pula biasanya bagi mereka yang telah menghafal Al-Quran, supaya mereka dapat mengulang bacaannya dlm masa yg singkat.
* Tingkatan terakhir pula ialah Tadwir yakni pertengahan
antara Tartil dan Hadar
* Tingkatan bacaan Tartil ini biasanya bagi mereka yg sudah mengenal
makhraj² huruf, sifat² huruf dan hukum² Tajwid. Tingkatan bacaan ini
adalah lebih baik dan lebih diutamakan.
* Tingkatan bacaan Tahqiq ini biasanya bagi mereka yg baru belajar membaca Al-Quran supaya dpt melatih lidah menyebut huruf dan sifat huruf dgn tepat dan betul.
* Tingkatan bacaan Hadar pula biasanya bagi mereka yang telah menghafal Al-Quran, supaya mereka dapat mengulang bacaannya dlm masa yg singkat.
* Tingkatan terakhir pula ialah Tadwir yakni pertengahan
antara Tartil dan Hadar
-IBNU SUBHI-
Tentu anda pernah menemukan hasil print berbentuk Bahasa Arab bukan? Namun terkadang sulit untuk mengetik satu persatu huruf demi huruf, berikut ini adalah tata cara menginstall qur'an ke Word.
- download Aplikasinya di sini
- setelah download selesai, jalankan applikasi
- klik next hingga muncul kotak dialog seperti di bawah ini.
- kemudia tentukan lokasi akhir
- kemudian install
- Tunggu hingga proses instalasi selesai, lalu klik finish
- Kembali ke Ms.Word, kemudian pilih pada Add-Ins lalu Al-Qur'an
- Untuk memilih ayat dan surah, bisa ditentukan dengan kotak dialog berikut.
sekian dulu postingan saya semoga bermanfaat.
Billahi Fi Sabilill Haq, Fastabiqul Khaerat.
Wassalam.
Judul Buku : Dunia yang Dilipat
Penulis : Yasraf Amir Piliang
Penerbit : Matahari
Total Halaman : 508 + cover
Judul Buku : Zero to Hero
Penulis : Solikhin Abu Izzudin
Penerbit : Pro-U Media
Total Halaman : 300 + cover
Billahi Fi Sabilill Haq, Fastabiqul Khaerat
Wassalam.
-Shawni -

ALKISAH, seorang pendeta bernama
Buhairah menarik diri dari gereja dan memutuskan hidup menyepi. Dalam kesendiriannya,
dia menenggelamkan diri ke dalam kajian tehadap buku-buku Kristen. Namun upaya
itu tak berhasil menghilangkan “kegelisahan” teologisnya.
Suatu saat, di dalam satu buku,
Buhairah menemukan sebuah ramalan. Tentang tanda kenabian yang akan dilihatnya
pada punggung seorang bocah kecil. Sebagaimana tercatat dalam sejarah Islam
klasik, pada akhirnya Buhairah menemukan tanda kenabian itu di punggung muhamad
SAW, yang kelak diangkat menjadi Rasul Allah.
Berangkat dari momentum pertemuan
antara Buhairah dan Muhammad, Al Shawni memulai kisahnya. Tokoh Buhairah yang
digambarkan sedang mengalami skeptisisme personal terhadap keesaan Tuhan diajak
Rasulullah. Dia dibawa ke sebuah tempat yang jauh dari hiruk-pikuk keramaian,
yang hanya diterangi kerlip dan redupnya bintang.
Di kesunyian itu, Buhairah mengalami
komunikasi trasnsendental dengan sosok makhluk gaib yang tak lain adalah iblis.
Mulai dari titik ini, pengarang menunjukkan “keliaran” imajinasi untuk
meruncingkan konflik di dalam “tubuh” novelnya. Dengan teknik dan langgam
penggisahan yang unik, Al-Shawni mendeskripsikan egosentrisme iblis.
Ketika pendeta Buhairah
mempertanyakan latar belakang kesombongan iblis yang menolak sujud pada Adam,
pengarang memanfaatkan momen itu untuk merumukan dalil-dalil filosofis dalam
rangka menarasikan penggugatan iblis. Jelas sekali, Al-Shawni hendak
menggelindingkan diskursus baru tentang riwayat pembangkangan iblis yang
menolak sujud pada Adam.
Menurut Al-Shawni, penolakan iblis,
yang kelak menjadi sebab keterkutukannya, bukan karena latar belakang
ontologism. Bahwa iblis diciptakan dari api, sementara Adam hanya diciptakan
dari tanah, sebagaimana penafsiran konvensional. Namun justru karena eksistensi
Adam adalah pencerminan dosa-dosa iblis. Jadi, mana mungkin iblis mau bersujud
pada cermin yang memantulkan buruk rupa wajahnya sendiri?
Bagi khalayak pembaca umum, membaca
karya sastra adalah “menikmatinya”, bukannya menggali aspek-aspek kebenaran
epistemologisnya. Jika pada paragraf-paragraf awal sebuah novel pembaca tak
berhasil “meraih” kenikmatan dengan gambang mereka akan menutupnya.
Tetapi, sebagaimana diusung oleh
Al-Shawni di dalam buku ini, barangkali membaca sastra tak cukup kalau sekedar
menikmati. Pembaca perlu pemahaman yang intens, penafsiran kritis, dan yang
lebih penting adalah penyingkapan misteri kebenaran epistemologis karya sastra
sampai ceruk paling dalam.
Dalam buku ini, Al- Shawni seperti
sedang mendadani karakter bejat iblis dengan jubah kebesaran filsuf yang penuh
aura kearifan dan kejeniusan. Ia berhasil menggunakan metode adab al-jadl.
Metode ini semacam kode etik berpolemik di kalangan pemikir muslim Abad
Pertengahan, seperti muncul pada debat Buhairah dengan iblis.
Rentang panjang durasi konflik yang
“meresahkan” itu, jika tak dilihat dengan ketajaman intuisi, bisa jadi akan
melahirkan pembelaan atau bahkan pemenangan argumentasi iblis. Di sini,
Al-Shawni tak hanya “menghidangkan” preposisi-preposisi logis untuk
mendeklarasikan penggugatan iblis. Ia juga memperkuat argumentasi rasional dengan
“meraih” metafora-metafora yang memukau dan sesekali mengejutkan.
Ketika Buhairah berupaya menyudutkan
identitas iblis dengan stigma determinime kutukan Tuhan, dengan lihai Al-Shawni
membela iblis. Caranya dengan menceritakan kisah Nabi Sulaiman yang sedang
murka karena dikhianati burung bulbul, sahabatnya. Burung itu diperingatkan
agar jangan menemui Sulaiman dulu, sebab emosi raja sedang memuncak.
Dikabarkan, Sulaiman berniat
membunuh burung bulbul. Tapi, anehnya, bulbul bukannya takut pada ancaman sang
raja. Bulbul justru bercicit kegirangan penuh suka cita. Riwayat Sualaiman dan
burung bulbul ini, menurut Shawni, relevan dengan problem kemurkaan Tuhan pada
iblis. Artinya, kemurkaan Tuhan pada iblis justru merupakan pertanda kedalaman
cinta Tuhan kepadanya.
Dengan kata lain, dilaknati atau
dimuliakan oleh Tuhan sudah tak berarti apa-apa lagi bagi iblis. Sebab
esensinya adalah kadar kedekatan Tuhan dengannya. Sehingga kutukan pun dapat
berubah menjadi berkah. Membaca “kenakalan” pikiran novelis ini, terasa
Al-Shawni tak sekedar menggugat dogma keterkutukan iblis.
Novel
ini, jika tidak dibaca hati-hati, sangat berpotensi “menggoda” pikiran pembaca
untuk membela bahkan
memenangkan gugatan iblis. (Resensi Oleh : Prayudi)
Billahi Fi Sabilill Haq, Fastabiqul Khaerat
Wassalam.
memenangkan gugatan iblis. (Resensi Oleh : Prayudi)
Billahi Fi Sabilill Haq, Fastabiqul Khaerat
Wassalam.
Drs. H.M. Sukriyanto AR.

Seperti dalam kehidupan beraqidah
(keyakinan hidup) banyaknya praktek-praktek kepercayaan terhadap benda-benda
keramat, semacam keris, tombak, batu aji, dan masih percaya pada adanya hari
baik dan buruk, serta kepercayaan terhadap kesaktian kuburan para wali (Mustafa
Kamal Pasha: 2002). Begitu juga halnya dengan praktek keberagamaan dalam
kehidupan beribadah, banyaknya praktek-praktek ubudiyah yang telah
bercampur aduk antara ajaran Islam dengan kepercayaan-kepercayaan lain. Seperti
tradisi sesajian yang ditujukan kepada para arwah, kepada roh-roh halus,
slametan saat kematian dan sebagainya.
Dari
kondisi umat yang seperti ini, tentunya sangat sulit bagi bangsa Indonesia saat
itu untuk keluar dari penjajahan kolonialisme. Karena tidaklah mungkin senjata
meriam dapat dikalahkan dengan cara memberikan sesajian pada kuburan-kuburan
para wali. Dan juga tidaklah mungkin umat Islam dapat menguasai bangsa ini
kembali dengan cara berzikir di atas sajadah dari pagi hingga petang. Sementara
para kolonialis telah menguasai ilmu-ilmu modern seperti matematika, fisika,
kimia, kedokteran, sosiologi, politik, biologi, teknologi dll
Mohon maaf bila Ada kesalahan. :)
Billahi Fi Sabilill Haq, Fastabiqul Khaerat
Wassalam.
Billahi Fi Sabilill Haq, Fastabiqul Khaerat
Wassalam.